Artikel Terbaru

twitter

Minggu, 09 September 2012

Menanti matahari esok pagi 2

Tini muncul di ruang tamu.Kulihat ia masih seperti dulu,hanya tampak
lebih dewasa dan agak kurus.
"apa kabar,Tin?",tanyaku sambil mengulurkan tangan.Tini tersenyum
menyambut tanganku.
"kukira kau tidak akan datang,"katanya. "Bagaimana kabarnya Bapak
kepala sekolah?"
Aku tersenyum kecut. Aku tahu,tentu ia bermaksud menghilangkan
kecanggungan diantara kami.Kami kemudian terlibat pembicaraan masa
lalu,tapi berusaha menghindarkan perseoalan hubungan pribadi.Tampaknya
Tini juga begitu rapi menyimpan perasaanya.Sikapnya tak lebih dari
seorang teman.Memang,kini kami hanya teman biasa.
Namun anehnya,sejak saat itu aku senang berkunjung kerumahnya. Ada
perasaan damai jika aku berada di dekat Tini.Apakah aku masih
mencintainya?Bagaimana dengan Tini sendiri?Tidak! aku tak boleh
berpikiran macam-macam.Aku telah mengubur semua kenangan lama itu di
bawah sadarku.Mengapa kini harus dibongkar kembali?
"Kau belum juga beristri,Man,"kata Tini suatu saat.
"Tak ada yang mau jawabku acuh tak acuh.
Tini menatapku sesaat.Ia tersenyum,tapi aku tak berhasil menebak perasaanya.
"Atau barang kali kau sendiri terlalu banyak memilih?",kata Tini
mencoba memancing perasaanku.
"entahlah Tin,tapi yang jelas aku bukanlah hipokrit.Aku tak bisa
mengawini orang yang tak bisa kucintai".
"Kau menyindirku?",tanya Tini tersinggung."Aku memang lemah,tak punya
pilihan selain menuruti keinginan kedua orang tua.Dan kini aku semakin
lemah,aku hanyalah seorang janda."
Kulihat tini menundukan muka.Ada setitik air bening di
matanya.Oh,rupanya aku telah melukai hatinya.Aku sungguh menyesal.
"Maafkan Aku Tini,Aku tak bermaksud menyinggung perasaan Mu,"kataku.
"Tidak apa-apa.Barang kali akulah yang terlalu perasa,"jawabnya sambil
tersenyum.
Ternyata aku tak bisa mengingkari kenyataan,aku masih mencintai
Tini.Perasaan yang telah terkubur sekian lama,kini mulai bersemi
kembali setelah aku sering menjumpainya.Dia memang telah menjadi
janda,tapi apa perduliku?Cinta tak memandang status.Sekian lama aku
menggapai cinta,terhempas karena status diriku yang belum
menentu,mengapa kini setelah Tini berada dalam jangkauan aku harus
mempersoalkan status dirinya?

"tidak!",kata ibuku,ketika aku menyampaikan hal itu kepadanya."kau
dulu telah dihinakanya.Bagaimana mungkin kini kau berniat
mengawininya?"nafas ibuku terdengar di antara suaranya.
"Tini tak pernah menghinaku,Bu,"aku berusaha membelanya.
"Dia hanya menuruti keinginan orang tuanya."
"Ah,sama saja Herman. Keluarga itu tak memandang sebelah mata kepada
kita." Ibu tetap ngotot dengan pendirianya."kini setelah kau jadi
sarjana dan ada kedudukan,sementara dia telah menjadi janda dan punya
anak,dia datang kembali untuk menjeratmu."
Aku terdiam mendengar kata-kata ibu.Begitu menyakitkan,tapi aku tak
dapat menyalahkanya.Sebagai seorang ibu,mungkin ia tak dapat melupakan
kepedihanya,ketika anaknya ditolak oleh keluarga Tini.
"Ibu memang menyuruhmu berkeluarga,"nada suara ibu kembali datar."tapi
bukan dengan Tini.Masih banyak gadis lain yang mengharapkanmu."
Barangkali kata-kata ibu benar,setidaknya menurut fikiranya. Dan
aku?Sudah kucoba berhubungan dengan beberapa gadis,tapi aku tak bisa
mencintainya walaupun mereka banyak memberi harapan.Satu-persatu
mereka pergi membawa kekecewaan.Agaknya kecintaanku kepada Tini telah
menutup pintu hatiku bagi gadis lain.Atau barangkali kegagalanku telah
menjadikan semacam trauma bagi diriku.Kedengaranya memang aneh,tapi
inilah kenyataan yang kualami.
Setelah pembicaraan dengan ibu menemui jalan buntu,aku tak lagi
mengunjungi Tini.Sepulangnya dari SD,waktuku kini kuhabiskan untuk
mengajar di beberapa SMA swasta.Aku ingin mengusir semua kegelisahan
dengan kegiatan yang positif,semacan konpensasi begitu.Kukira ini
lebih baik daripada aku termenung memikirkan dilema yang tak pernah
berujung pangkal.
Dengan kesibukanku,aku sedikit dapat melupakan Tini.Namun akibatnya
aku jatuh sakit,beberapa hari aku terbaring di kamarku.Kata dokter
yang memeriksa aku harus banyak istirahat.
"Kau terlalu capek,Man,"kata Ibuku."Bekerjalah sewajarnya.Untuk apa
kau bekerja terlalu keras?"
pertanyaan Ibu memojokanku.Ya,untuk apa? Aku tidak punya
keluarga.Satu-satunya tanggunganku hanya ibu.Mungkin ini hanya
pelarian.Mengapa harus lari dari kenyataan? Pengecut!Hati kecilku
mengutuk.Bangkit,dan hadapilah semuanya dengan berani! Aku mencoba
bangkit,tapi badanku terasa lemah sekali. Tulang-tulangku terasa
nyeri. Oh!
Kudengar suara ketukan di pintu. Ibu tergesa-gesa ke depan.Beberapa
orang anak muridku datang,kulihat Rina ada diantara mereka. Sebuah
bungkusan diserahkan anak-anak kepada ibu,barangkali kue atau
apa.Kulihat ibu memandang Rina tak berkedip.Anak itu merasa rikuh.
"Dia anak Tini,namanya Rina",kataku menjelaskan,sementara hatiku berdebar cemas.
"Oh,sudah sebesar ini?", tanya ibu sambil memegang Rina."cantik
seperti ibunya," ibu memandangku sambil tersenyum.
Rina menundukan muka sambil tersipu-sipu.Aku tak mengerti maksud ibu.
Bukankah ia begitu benci kepada Tini? Apakah ia bermaksud menghinanya
dengan kata-kata itu?Kukira tidak.Nada suaranya terdengar tulus dan
jujur.Aku semakin kebingungan.
Ibu masih terus memperhatikan Rina,mungkin ia merasa sedang berhadapan
dengan Tini.Matanya yang bulat,rambutnya yang agak ikal,kulit tubuhnya
yang kuning langsat,dan senyumnya yang menawan telah membuat Rina
sebagai duplikat ibunya.Namun sayang kini tak punya ayah lagi.
"Neng Rina,ajaklah ibumu main kemari,"kata ibu tiba-tiba.Hatiku
berdebar keras."Ibu ingin sekali bertemu."
"Ibu,mengapa dia disuruh ke mari?"

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More