Artikel Terbaru

twitter

Minggu, 09 September 2012

Menanti matahari esok pagi

Rina tersipu malu,ketika aku memandangnya.Gadis kecil itu baru sehari
menjadi muridku,pindahan dari bandung.Ada sesuatu yang menarik pada
diri Rina,dan hal itu sempat membuat aku terpana ketika pertama kali
melihatnya.Betapa tidak,gadis berusia dua belas tahun itu telah
membangkitkan ingatanku pada peristiwa lima belas tahun yang
silam,saat aku mengukir keceriaan masa remajaku bersama tini.Tini
adalah teman sekelasku di SPG dulu.Dan Rina muridku itu mirip sekali
dengan Tini.Belakangan kuketahui,ternyata Rina adalah anak tunggal
Tini.
Sejak Rina menjadi muridku di kelas enam ini,aku mudah dihinggapi
perasaan gelisah.Kegelisahan ini makin menghantui manakala aku
memandang Rina.Wajah anak ini dalam sekejap dapat berubah menjadi
wajah Tini,ibunya.Padahal antara aku dan dia kini tidak ada apa-apa
lagi.Hubungan kami berakhir ketika Tini menikah dengan seorang ABRI
pilihan orang tuanya.Sejak itu Tini ikut bersama suaminya di
Bandung.Aku tak mendengar kabar apapun tentang dia,hingga kemudian
Tini kembali mengikuti orang tuanya di Cirebon ini.Kudengar nasib Tini
kurang beruntung.Suaminya kang Budi kabarnya telah meninggal karena
kecelakaan beberapa bulan yang lalu.Tini kini telah menjadi janda.
Lonceng istirahat telah berbunyi.Anak-anak berhamburan keluar
kelas.Aku sedang menilai hasil pekerjaaan anak-anak,ketika Rina datang
menghadap.
"Ada apa Rina?", tanyaku tanpa menghentikan pekerjaanku.
"Ada pesan dari ibu,pak",jawab Rina.
Aku tersentak."pesan", kutatap Rina lekat-lekat.Anak ini segera
menundukan mukanya.
"jika ada waktu,ibu mengharap Bapak dapat main ke rumah," Rina berkata
perlahan.Namun kata-kata itu terdengar keras di telingaku."kata Ibu
pak Herman dulu teman sekelas ibu",sambungnya. "ya...ya...ya
Rina,sampaikan terima kasih pada ibumu,"kataku gugup."Bapak akan main
ke rumahmu kapan-kapan".Aku berbasa-basi.
Aku termangu-mangu sepeninggal Rina.Rupanya Tini telah bercerita
banyak tentang diriku kepada anaknya.Ah,Tini apalagi yang kau
inginkan?Aku telah bersusah payah melupakanmu selama ini,ternyata
kini kau datang lagi dengan membawa persoalan baru bagiku.
Lima belas tahun yang lalu,aku memang sering datang ke rumah
Tini,terlalu sering bahkan.Hal ini membuat kedua orang tuanya
curiga.Akhirnya mereka mengetahui bahwa hubungan kami bukan sekedar
teman,tapi lebih dari itu.
"Nak Herman,kelihatanya Nak herman dengan Tini begitu akrab,"kata
ibunya saat itu.
"Ya
Bu",jawabku pendek
"ibu khawatir ini akan mengganggu pelajaran kalian.Bukankah sebentar
lagi ujian?"
saat itu aku hanya tertunduk.Tini juga.Kudengar ayah Tini batuk-batuk
kecil.Orang tua itu asyik menikmati pipa tembakaunya sambil membaca
koran.Kelihatanya acuh tak acuh,tapi aku yakin dia pun ikut menyimak
pembicaraan kami.
"Ibu tak ingin kalian gagal,terlebih lagi Tini.Calon suaminya ingin
segera menikahinya begitu Tini lulus ujian."
"Ibu! Apa maksud Ibu?",pekik Tini.Aku juga kaget seperti mendengar
bunyi petir.Tak kusangka sedikit pun,rupanya Tini sudah punya calon.
Benar Tini.Kang Budi kini telah lulus AKABRI dan mendapat tugas di
Bandung.Kemarin orang tuanya datang melamarmu,tentu saja ibu
menerimanya.Bukankah keluarga itu sudah kita kenal sejak lama? Lagi
pula Kang budi adalah pemuda yang baik dan punya masa depan. Ibu yakin
kau tentu akan berbahagia menjadi istrinya."
Ibu Tini menjelaskan semuanya tanpa menghiraukan perasaanku.Aku
maklum,keadaanku yang belum menentu tak memungkinkan aku untuk
mendampingi Tini. Apa yang dapat diharapkan dari laki-laki seperti
aku? Orang tua Tini tentu tak akan rela membiarkan anak satu-satunya
terjerumus ke dalam ketidakpastian nasibku,senentara Budi dengan
seribu janji dan harapan telah siap menantikanya.Aku merasa tak
memiliki masa depan.Semuanya kabur dan absurd,bahkan gelap sama
sekali.Ah,terlalu pesimistis agaknya,tapi itulah kenyataan.
Kini dalam usiaku yang ketiga puluh tiga aku masih tetap sendiri,Ibuku
sudah berulang kali menyuruhku berumah tangga,tapi aku belum menemukan
yang cocok. Barangkali aku terlalu banyak memilih,entahlah!
"Sungguh aku tak mengerti dengan sikapmu,Man,"kata ibuku suatu
saat."kau selalu menjawab nanti dan nanti. Setelah menjadi
sarjana,setelah diangkat menjadi kepala sekolah,terus apa lagi?"
Aku diam saja saat itu. Semuanya menang sudah kuraih.Gelar sarjana
pendidikan dari Universitas di kotaku telah mempercepat karierku
menjadi kepala sekolah.Namun,ternyata ibuku masih menuntut yang lain
dariku,menikah.
"Adik-adikmu sudah berumah tangga semua.Tinggal kau,Man,"kata ibu
memperkuat tuntutanya."Ayahmu sudah meninggal,dan ibu pun sudah tua.
Kalau ibu tidak ada siapa yang mengurusmu?"
kulihat mata ibu berkaca-kaca,disusutnya dengan ujung kebayanya.Aku
tak menyangka kalau sikapku ini telah membuat sedih hati ibuku.Namun
apa yang harus kulakukan?

Matahari sudah mulai condong ke barat,ketika aku mengetuk pintu
rumahnya.Rumah itu masih seperti dulu.Bunga-bunga bougenvile yang
tumbuh berwarna-warni di halaman depan rumah itu merupakan saksi abadi
bahwa Aku dan Tini pernah berikrar setia,ketika kami duduk bersama di
kursi teras,lima belas tahun yang lalu.
Ada sedikit perasaan ragu menyelinap di hati,tapi segera
kuhapuskan.Bukankah aku disuruh datang kerumahnya? Namun,hatiku
berdebar juga tatkala pintu rumah itu terbuka.Ternyata Ibu Tini yang
membukanya.Orang tua itu agak kaget melihat kedatanganku tapi kemudian
tersenyum.
"Oh,Nak herman,silakan masuk,"katanya ramah."kemana saja selama ini?"
Aku menjawab sewajarnya. Ibu Tini mempersilahkan aku duduk,kemudian
bergegas pergi ke belakang.

(bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More